Sudah hampir satu bulan ini, proses pre trenching (pengerukan) sepanjang 1,2 kilometer di seputar wilayah perairan Kepulauan Seribu, Banten, menggeliat.
Kegiatan yang merupakan tanggungjawab PT Rekayasa Industri (Rekind) atas amanat PT Pertamina (Persero) itu merupakan bagian dari tahapan pengerjaan Proyek Depot Pengisian Pesawat (DPPU) Subsea Pipe Line Mooring (SPLM) Soekarno Hatta (Soetta).
Pengerjaan yang dilakukan perusahan EPC Nasional itu, fokusnya pada pemasangan Single Point Mooring (SPM) dengan kapasitas 50.000 DWT (Dead Weight Tonnage) dan Subsea Pipe Line (SPL) sepanjang 8.5 kilometer.
Dalam menunjang kegiatan proyek strategis tersebut, SPM merupakan sejenis media terapung yang berfungsi sebagai tempat untuk menambat kapal tanker sekaligus sebagai sarana yang digunakan untuk mentransfer media dari kapal tanker tersebut (avtur) ke jaringan pipa bawah laut (submarine pipeline, SPL).
Sedangkan SPL merupakan pipa yang tersambung dari SPM menuju Booster Pump di Tanjung Pasir, Banten, untuk kemudian dialirkan menuju DPPU Pertamina di Bandara Soetta, sebelum digunakan seluruh maskapai pesawat terbang.
Proses pengerukan awal merupakan bagian dari kegiatan SPL. Dilakukan sepanjang 1,2 kilometer atau tepatnya dimulai dari Kilometer Post (KP) 6,9 sampai dengan KP 8,2 dengan kedalaman 3 meter. Menggunakan portable sectional barges yang ditunjang dengan performing dredging operations cranes. “Didesain khusus oleh engineer-enginer profesional Rekind untuk proses penanaman pipa yang melewati perairan laut dangkal di bawah 20 meter,” ungkap Construction Manager Rekind untuk Proyek DPPU SPLM Soetta, Setiadi.
Untuk pipa yang melintas di jalur laut dengan kedalaman di atas 20 meter, yang dalam proyek ini sepanjang 1 kilometer, diletakkan di dasar laut tanpa ditanam. Pola yang dikedepankan Rekind mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. PM 129 Tahun 2016 tentang Alur Pelayaran di Laut dan Bangunan dan/atau Instalasi di Perairan
Diakui Setiadi, tantangan terberatnya dalam pekerjaan proses pre trenching ini adalah faktor cuaca dan kodisi tanah di dasar laut yang banyak mengandung pasir sehingga material tanah yang sudah tergali dapat kembali di lokasi pengerukan.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Tim engineer Rekind melakukan pengerukan selebar 6 meter dan sudut kemiringan galian 1:1 dengan tujuan untuk mengantisipasi kembalinya material galian ke lokasi pengerukan. Sehingga kedalaman 3 meter masih bisa dipertahankan. Untuk pemantauan kedalaman dilakukan dengan alat Echo Sounder ataupun melalui proses manual melalui alat yang diceburkan ke area yang telah dikeruk. “Jika kedalaman kerukan tidak sesuai target, pengerukan harus dilakukan ulang. Kalau ini terjadi, maka akan menambah waktu pengerjaan dan tentunya menambah biaya yang harus dikeluarkan. Ini yang seminimal mungkin harus kami hindari,” tegas Setiadi.